Ditelinga orang awam pernyataan “penderitaan adalah mutiara” sangat kontroversi. Mutiara adalah kiasan bagi sesuatu yang indah dan sangat berharga. Dimanakah letak keindahan dan nilai plus sebuah penderitaan? Seandainya penderitaan itu sedemikian indah dan punya nilai jual tinggi, tentu para millionair akan membagi-bagikan uangnya, agar mereka jatuh melarat dalam penderitaan? Adakah hal seperti ini pernah terjadi? Dan apa yang tampak dalam kehidupan ini adalah orang-orang miskin yang hidup dalam penderitaan sangatlah dinistakan, dan mereka selalu dipinggirkan karena tak ada secercah pun keindahan dalam kondisi derita mereka.
Apakah makna sesungguhnya dari ungkapan bahwa “penderitaan adalah mutiara” ini? Ungkapan ini sering diucapkan dalam mimbar-mimbar keagamaan. Dapatkah kita menyentuh ungkapan ini secara lebih mendalam? Ataukah ini semata pelipur lara bagi orang-orang yang dalam penderitaan? Seperti ungkapan, bahwa “Allah tak’an memberi cobaan melebihi kemampuan umatnya…?” Sungguhkan “penderitaan adalah mutiara?” Ataukah ini semata “kata-kata mutiara?”
Bila kita melihat fakta dari senyatanya kehidupan tiadalah banyak orang yang melihat bahwa penderitaan itu mutiara. Seperti Artalita yg menjadikan kamar tahanannya di-penjara bagaikan kamar di-sebuah hotel mewah. Bila kita tanyakan para narapidana yang lainnya, tentu mereka tak’an menolak jika diberikan kamar semewah kamarnya siArtalita. Demikianlah kebanyakan orang selalu berusaha menghidari penderitaan, kemiskinan, dan kesengsaraan. Maka dari itu kita selalu berusahaan dengan keras untuk mendapatkan kesenangan, kemewahan hidup; dan untuk mencapai hal ini kita tak segan-segan menghalalkan semua cara termasuk korupsi. Dan salah satu cara yang dipandang mulya bagi orang-orang beriman adalah berdoa, memohon kepada tuhan agar diberi keselamatan, rejeki, ampunan dan dijauhkan dari cobaan dan penderitaan.
Dimanakah letak keindahan dan nilai plus dari sebuah penderitaan? Barangkali penderitaan hidup yang bersifat fisik dapat membuat mental seseorang manjadi kuat, tahan banting; namun tak jarang yang jatuh stress, sehingga ada banyak terjadi percobaan bunuh diri atau pun mati dengan suicide. Mental menjadi kuat belumlah ukuran bahwa hidup menjadi indah dan bermakna.
“Penderitaan adalah mutiara”, ini adalah kata-kata mutiara yang lumayan sebagai pelipur dikala hati kita nolongso; dikala kita dicekam oleh rasa iba diri atau rasa cemas. Ini hanyalah semata penghiburan diri. Untuk sungguh-sungguh menjadikan penderitaan itu bagai mutiara, mestilah ada pemahaman akan penderitaan itu secara detail. Untuk dapat memahami kita mestilah menyelaminya secara mendalam. Dan kita mestilah berada dekat sekali sehingga penderitaan itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari diri kita. Dengan demikian kita dapat melihat seluruh rangkaiannya, detailnya, dan berhadapan langsung dengan seluruh wujud penderitaan itu.
Pernahkah kita menghadapi, bertatap-muka, tanpa mengalihkan perhatian dari penderitaan diri kita? Kebanyakan orang tak’an sanggup melakukan ini. Kita cendrung untuk menghindari penderitaan. Maka dari itu kita pergi mencari bermacam-macam hiburan. Kitapun tergantung dan lekat pada hiburan-hiburan ini. Dan oleh karena itu kita tak’an pernah memahami, mengenal wajah penderitaan kita dengan baik. Pernahkah kita menginsyafi tindakkan pelarian kita dari penderitaan? Tentu kita tak pernah menyadari, bukan? Setiap kali penderitaan datang, kita selalu memalingkan muka. Salah satu bentuk dari pemalingan muka kita adalah dengan berdoa, memohon agar penderitaan kita diringankan atau kalau masih bisa ditawar kita mohon penderitaan itu hilang selamanya dari diri kita. Doa bagaikan morfin yang mujarab seolah-olah dapat menghapus penderitaan. Namun senyatanya penderitaan itu tetap berada di-dalam diri. Jika kita jujur, bukankah ini yang terjadi selama ini?
Hal mendasar yang mesti di-insyafi adalah janganlah berpaling, janganlah menghidari; namun hadapilah, tataplah penderitaan itu dengan seksama. Hanya dengan inilah kemungkinan kita akan dapat memahami seluruh seluk-beluk, struktur penderitaan itu secara lengkap. Dapatkah kita melakukan hal ini? Yaitu tidak berpaling dengan cara-cara, metode apa-pun…? Tataplah dengan seluruh perhatian, seluruh kemauan, seluruh hati, seluruh pikiran, seluruh perasaan; dengan segenap jiwa kita. Ini adalah pengamatan total. Dalam pengamatan menyeluruh ini, energi penderitaan adalah keindahan suka-cita dari batin yang religius.